Senin, 17 Juni 2013


HotWave #6
Pameran / Presentasi Seniman Residensi
Charlotte Schleiffert 
M.R. Adytama P. Charda

22 - 29 Juni 2013

Pembukaan
Sabtu, 22 Juni 2013 | 19.30

Diskusi
Sabtu, 29 Juni 2013 | 19.30

Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta


Charlotte Schleiffert
Pada awal masa tinggalnya, Charlotte mengumpulkan beberapa buku, laman web, novel serta berlangganan harian umum nasional berbahasa Inggris untuk mengenal lebih dekat kebudayaan, sejarah dan situasi terkini Indonesia. Perhatiannya yang luas dari topeng tradisional hingga jilbab street-style dan dari sejarah kolonial hingga isu-isu politik dan sosial masa kini, menghantarnya kepada gambar-gambar yang kontras namun saling berkaitan. 
Perhatiannya mulai muncul ketika ia tiba dan melihat banyak wanita menggunakan jilbab. Ia lalu melakukan pembacaan visual terhadap para fashionista muslim dan memulai gambar figur berukuran besar pertamanya di Jogja dengan memakai berbagai media di atas kertas. Di karya lain Charlotte menggunakan topeng-topeng tradisional dalam figur gambarannya sebagai kelanjutan dari karya-karya sebelum residensi. Dengan mengkombinasikan topeng-topeng tersebut bersama setelan adibusana dan gaya dari majalah, ia seperti menyandingkan latar barat yang dibawanya dengan budaya timur yang menjadi minatnya. Sebagai latar belakang yang kontras, pada latar belakang tiap figurnya,  ia menambahkan pandangannya terhadap isu-isu gender, protes warga, perang keagamaan, serta perlakuan salah terhadap binatang, yang baru-baru ini seringkali terbaca dalam surat kabar.
Karya mix-media di atas kanvasnya yang terinspirasi oleh Pangeran dari Madura di zaman kolonial di Jawa berbicara tentang pengaruh kekuasaan dalam hubungan antar manusia, ide yang sering digunakan dalam karyanya. Penelitian untuk karya pentingnya ini, telah membangkitkan rasa ingin tahunya tentang sejarah masa lalu negerinya sendiri, negeri Belanda.
Charlotte Schleiffert (lahir 1967) tinggal dan bekerja di Rotterdam, Belanda. Ia mendapatkan pendidikan seni dari Koninklijke Academie voor Kunst en Vormgeving di Hertogenbosch dan Ateliers’63 di Haarlem (De Ateliers, Amsterdam), Belanda. (http://www.charlotteschleiffert.com/)

M.R. Adytama P. Charda
Sejak awal, Charda memiliki ketertarikan terhadap pembahasan memori dan sejarah. Pada awal residensi, ia telah mempunyai beberapa ide bahasan antara lain mengenai memori dan sejarah keluarganya yang masih memiliki hubungan sejarah dengan Kesultanan Palembang-Darussalam—terkait dengan artefak keluarga yang secara misterius tersimpan di Belanda—hingga mengenai masa kolonialisasi Belanda yang berhubungan dengan industri gula di Jawa. Namun ia memutuskan untuk meneliti sejarah dan memori yang masih erat hubungannya dengan masyarakat lokal Yogya yang juga memiliki latar belakang sejarah yang kuat terhadap sejarah Indonesia, yaitu Kesultanan Yogyakarta.
Ketertarikannya bermula tidak hanya karena ingin berinteraksi dengan memori dan sejarah setempat, tetapi ia juga tertarik dengan perjanjian dan kebijakan politik Sultan pada masa kolonialisasi Belanda hingga saat ini. Pada akhirnya, ia menemukan suatu permasalahan mendasar mengenai artefak-artefak sejarah yang sebagian besar berada di luar Indonesia dan cukup sulit untuk diakses. Artefak sejarah tersebut bukan hanya sebuah benda yang memiliki nilai ekonomis koleksi yang tinggi, melainkan benda dengan sisi historis dan memori yang tidak ternilai harganya; menyangkut identitas dan pandangan saat ini mengenai urgensi artefak-artefak tersebut.
Penelitian ini kemudian membawa Charda berhubungan dengan The British Museum di London, Tropen Museum di Belanda, hingga para pelaku ‘pemburu harta karun’. Seringkali dalam proses penelitian ini, Charda harus terjun langsung dalam dunia arkeologi dengan dibantu oleh rekan-rekan arkeologi universitas terkemuka di Yogyakarta.
M.R.Adytama P. Charda (lahir 1987) tinggal dan bekerja di Bandung dan Jakarta, Indonesia. Ia mendapatkan pendidikan seni dari Institut Teknologi Bandung, Indonesia.


Melalui program residensi HotWave, Rumah Seni Cemeti bermaksud memfokuskan pada pentingnya praktik seni dengan perhatian pada proses-proses seni serta pengalaman-pengalaman sosial dan inovatif. Selama tiga bulan, tiga seniman dari dua negara; Indonesia dan Belanda diberi kesempatan untuk berkonsentrasi dalam berkarya, melakukan eksperimen dan berinteraksi dengan seniman lain, kalangan profesional dan komunitas tertentu. Model yang berbeda dieksplorasi dengan tujuan untuk bekerja pada wacana kritikal dan bentuk seni visual yang beragam. 
HotWave #6 merupakan program residensi yang diselenggarakan oleh Rumah Seni Cemeti bekerja sama dengan Heden (Den Haag, Belanda). Program ini didukung oleh Heden (Den Haag, Belanda) dan Program Pengembangan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta (Indonesia). Program residensi HotWave #6 berlangsung selama tiga bulan dari bulan April hingga Juni 2013 di Rumah Seni Cemeti.


-----------------------------------------------------------------
Cemeti Art House / Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta  55143
Open:  09.00 - 17.00, Closed on Sunday & Monday
Telp/Fax. +62 (0) 274 371015   
M. +62 (0) 812 273 3564 

Senin, 10 September 2012

   Pameran komunitas tangga yang dibuka pada hari sabtu tanggal 9 sebtember merupakan salah satu bentuk kegiatan pameran berskala umum yang diwadahi oleh suatu kelompok mahasiswa dan dosen seni rupa murni UNS yang menurut saya bertujuan untuk membangkitkan gairah seni rupa bukan hanya di lingkungan universitas namun para alumni jurusan tersebut dan juga masyarakat umum yang memiliki kemampuan membuat suatu karya seni.
   Dari segi peserta dan karya yang dipamerkan banyak kemajuan di bandingkan 5-7 tahun yang yang lalu melalui bentuk wadah yang berbeda, komunitas tangga ini memberi suatu kejelasan mengenai wacana berkesenian kepada mahasiswa seni rupa murni kedepanya agar selalu menjadi lebih baik dari tahun- ketahun atau bila perlu dari hari-kehari, namun segala sesuatunya perlulah mendapatkan dukungan dari semua pihak khususnya intitusi pendidikan yang menaungi komunitas ini. Masalah pendanaan,sistem regenerasi, dan produksi karya biasanya menjadi kendala sehingga peran intitusi tidak hanya mengesahkan proposal tapi  juga harus menganggarkan biaya kegiatan setiap tahun,pengelolaan anggota,dan bimbingan berkarya yang baik.
   Komunitas ini diharapkan mampu bersaing dengan komunitas-komunitas yang lain yang lebih dulu, jadi harus sering mengadakan pameran-pameran diawali dari tingkat lokal dan harus mempunyai visi bersaing ditingkat nasional bahkan internasinal untuk menghasilkan seniman-seniman yang berbakat dan pekerja keras. untuk mencapai tingkat nasional dan internasional komunitas ini jangan hanya berkembang dillingkungan universitas namun di luar universitas perlu dibentuk juga, dengan begitu pekembangannya akan jauh lebih cepat.
   sekian pendapat saya, bila ada kekurangan atau salah kata saya minta maaf .. SEMANGAT KAWAN!!

Sabtu, 08 September 2012

Ini merupakan karya ke tiga dari 8 karya yang saya buat, sumber ide pertamanya sama yaitu batu fosil kayu, namun selama proses pengerjaan banyak sekali faktor yang mempengaruhi seperti, perasaan, pengalaman,masa kecil,asmara dan lain sebagainya sehingga terciptalah karya seperti itu. Kebebasan merupakan sesuatu yang ingin dicapai, ekspresi adalah caranya dan karya adalah bentuknya.

Batu fosil kayu merupan salah satu sumber inspirasi untuk membuat sebuah karya seni. Berbagai pengamatan dapat menimbulkan kesan yang berbeda-beda, sebuah pengalaman berharga dapat mengamati batu yang kaya akan warna ini seolah-olah pikiran saya terdistorsi meliyuk-liyuk dan melayang-layang seperti karya van Gogh.
Alam bawah sadar berperan penting untuk menentukan bentuk dan pantulan cahaya ke retina akan mempengaruhi warna. This a shape and color wood fossil.

Selasa, 07 Februari 2012

Hubungan Seni dengan Alam

Hubungan Antara Seni dengan Alam

Manusia sebagai makluk yang hidup didunia tidak mungkin lepas dari alam karena manusia merupakan bagian kecil dari alam semesta ini, contoh sederhana pemandangan alam dengan lukisan pemandangan alam apakah berbeda, jika ada perbedaan esensi maka disitulah esensi seniman dalam batas antara kita dengan alam.
Apabila seni merupakan duplikat bentuk luar dari alam maka imitasi yang paling dekat merupakan pelukisan yang paling memuaskan. Seniman tidak bermaksud menggambarkan perwujudan yang kasat mata, melainkan ingin menceritakan tentangnya. Perwujudan itu mungkin merupakan hasil pengamatan atau emosi yang dirasakan, bukan komunikatif secara jelas dan efektif secara bentuk sesunguhnya.
Ada dua metode penciptaan karya seni yang bersumber dari alam, pertama seniman dengan sengaja memanfaatkan apa yang telah dicapai seniman lain, meniru karya tersebut atau memilih dan mengkombinasikan keindahannya yang paling asal yaitu alam, dalam hal ini biasanya seniman menyajikan corak atas dasar studi dari gambar-gambar yang menghasilkan seni imitative, kedua seorang seniman berusaha menemukan kualitas tertentu yang belum pernah digambarkan seniman lain seni sebelumnya.
Alam merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, namun kita merupakan bagian dari alam. Seni tidak saja mendokumentasikan alam atau peristiwa di dalamnya tetapi menyuguhkan ragam makna dan tuntunan makna kehidupan (Dharsono Sony Kartika, 2004: 24-25).

Senin, 25 Januari 2010

Studio lukis UNS gk berkembng kenapa ni tmen2???
seharusnya Universitas lebih perhatian donk, dengan seni rupa khsusnya seni lukis, masa tepat untuk menyimpan karya dan studio jadi satu, lebh dari itu gedungnya kog kayak jaman pra sejarah,kapan majunya kalo kaya gni trusssss...indnesia cma punya satu jalan agr bisa dikenl dunia, yaitu melalui olah raga dan seni, kalo tegnologi dan sains jelas bgt ketinggalan dan kemungkinan kecil bisa setara dengan negara maju.
Ini hanya sebuah kritik bukan sebuah penghinaan...semoga bisa berbuat lebih baik..jangan sampai ini nanti jadi kayak kasusnya Prita sama Luna Maya.